Dedy_the Giant from Palembang

life is do life !!

Harapan itu Telah Tiada ?(2)

Sebelumnya saya menceritakan kegelisahan saya akan masa depan bangsa ini pasca plipres. Saya pun telah berjanji menjabarkan apa bentuk ‘ketakutan’ saya itu pada mereka satu persatu..

Mungkin sebagian orang akan mengagumi dan menghormati opini jika disajikan dengan data-data lengkap. Apalagi jika ada bumbu-bumbu statitik lengkap dengan angka-angkanya. Jika Anda termasuk di sini, Anda mungkin kan kecewa, karena opini ini lebih pada opini subjektif di mana rasional dan hati lebih banyak saling bertaut-tautan. Baiklah kita mulai saja dari kegelisahan saya pada pasangan pertama: SBY-Boediono.

Untuk SBY saya mempunyai dua kegelisahan. Pertama, afiliasi dengan saudara jauh yang punya hobby ‘usil’ dengan negara lain. Mengenai hal ini, ada dua catatan saya: (1) peristiwa memalukan penyambutan Bush. Yang saya sebut memalukan bukanlah cara penyambutan berlebihan dengan ‘mematikan’ kota Bogor saat itu, melainkan, cara SBY menunggu kedatangan Bush bak Siti Nurbaya yang ketakutan menunggu kedatangan Datuk Maringgi. Perilaku merapikan bunga di depan istana sambil berlama-lama berdiri menunggu Bush sungguhlah menjatuhkan harga diri bangsa di depan bangsa lain yang sebenarnya sekarang tidak punya taring lagi, bahkan bisa dibilang bangsa yang tinggal menunggu ajalnya saja, (2) perjanjian DCA dengan Singapura yang hampir saja terlaksana. Sykur alhamdulillah berhenti ditengah jalan, kalau tidak, entah seperti jadinya bangsa ini akan diberdaya oleh bangsa yang memag licik ini. Kedaultan hancur, rakyat di Pulau Sumatra pun nyaris terlacur oleh militer Singapur. Nauzubillah minzalik.

Itulah yang pertam mengenai SBY, kedua saya mencermati demkorasi (baca: kebebasan) telah menyelamatkan bangsa ini dari syahwat berkuasa seorang berwatak Soeharto. Atau bisa jadi, tadinya tidak berniat meniru Soeharto, tapi keadaan dan waktu dapat merubah kucing menjadi serigala. Maksudnya apa? Sebelumnya saya mengingatkan kemnali, bahwa tulisan ini adalah opini bebas, sangat subjektif , lebih bayak berintuisi, di mana kemungkinan salah itu ada. Tapi inilah bentuk ‘ketakutan’ saya. Ya, ‘kemasan’ SBY yang santun, bijak, berfisik tegap, sungguh memikat siapapun khususnya. Soeharto pun dulu begitu, semuanya dibungkus dengan apik, kelaurga yang harmonis, metode bicara dengan rakyat pada program klompencapir tentu masih kuta di ingatan kita.

Pada zaman Pak de Harto dulu, semua (khusunya rakyat biasa dan ibu-ibu rumah tangga) terkesima, terbius dengan kepemimpinan Pak De. Sampai-sampai mungkin berpikiran selain beliau tidak ada yang lain yang layak jadi presiden.

Model-model seperti ini nampaknya berulang di masa SBY, semua terpana, iklan-iklan layanan masyarkat tiap-tiap departemen bermunculan di televisi, keharmonisan eluarga ditonjolkan sungguh mirip.

Maka, kecemasan beberap tokoh akan munculnya Soeharto 2 sebenarnya sungguhlah beralasan. BOleh jadi nanti undang-undang yang membatasi masa jabatan presdien makasimal 2x 5 tahun dapat saja dirubah, diamandemen. who knows? Anything can be happened. Karena undang-undang pun buatan manusia dan memang amandemen adalah suatu keniscayaan dalam tata negara kita.

Mengenai Bediona sendiri?? bersambung dulu ya…to be continued
mohon maaf kalau ada salah pada Allah saya mohon ampun da berserah diri

May 28, 2009 Posted by | Uncategorized | 2 Comments

Harapan itu Telah Tiada (1)

Pemilu legislatif usai sudah. Noktah-noktah hitam masih banyak ditinggalkan. Entah evaluasinya akan digunakan atau tidak pada pileg mendatang. Namun mari kita alihkan pandangan ke pilpres yang segera datang. Banyak isu bermunculan. Isu neolib, isu islam-nasionalis, isu komunikasi plitik dalam koalisi, isu HAM, isu kisah penjualan aset negara. Yang jelas saya melihat ada suatu yang ironis dan menyedihkan pada pilpres ini.

Tidak sedikit yang pesimis dengan masa depan bangsa. Wajar saja, semua calon yang muncul wajah-wajah lama bahkan mereka adalah anak para pendahulu bangsa yang tidak sedikit juga noktah hitam dibanding noktah putihnya. Namun bukan ini fokus tulisan ini.

Pertama, saya hendak mencoba mengungkapkan kegelisahan saya akan masa depan bangs di tangan salah dua di antara mereka. Saya memprediksi kemungkinan yang terjadi dengan bangsa ini lima tahun ke depan hanya ada dua: begini-begini saja (statis) atau malah tambah buruk. Jangan sampai naudzublillah minzalik. Kegelisahan saya ini akan saya coba mengungkap setitik data mengenai rapot merah atau ‘ketakutan’ saya terhadap mereka satu persatu.

Selanjutanya, yang kedua, tulisan ini mengungkapkan dugaan saya kenapa semua ini (below average leaders) di’karunia’kan pada bangsa kita. Dan yang ketiga saya hendak menyumbangkan secercah motivasi bagi kita untuk tidak berdiam diri saja, namun mari kita coba melihat matahari di luar awan nan gelap ini. (meminjam kata-kata Renald Kasali dalam bukunya Marketing in Crisis….

Bersambung….nantikan segera…to be continued later…coming soon

May 28, 2009 Posted by | My-opinion | 1 Comment

100 best international WB essay06

100 international WB essay06

August 30, 2007 Posted by | my doc | 3 Comments

bersama HNW

bersama HNW

August 21, 2007 Posted by | Uncategorized | Leave a comment

Intra-Civilization Indonesia Malaysia

Intra-Civilization Indonesia Malaysia

Email: dedy.purwanto@gmail.com Mobile: +6013 4407660

 

‘Peringatan 50 Tahun Merdeka-Hubungan Malaysia Indonesia’ digelar selama satu minggu (17-21/07/07) di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Acara ini diakhiri dengan pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Wapres-RI, Jusuf Kalla, oleh Universiti Malaya. Hubungan kedua negara memang sudah dijalin sejak lama. Kesultanan beberapa negeri (seperti propinsi) di Malaysia dibawa sejak lama dari daerah-daerah di Indonesia. Misalnya saja Kesultanan Selangor berasal dari Bugis, Melaka dibawa dari Palembang, dan jika kita berkunjung ke Negeri Sembilan, maka bahasa dan rumah adat khas Minang akan mewarnai perjalanan kita.

Namun sayangnya, hubungan kedua negara saat ini (baik level pemerintah maupun masyarakat) dirasakan sangat biasa-biasa saja, kalau tidak mau dibilang lesu. Bahkan cenderung negatif untuk jenis hubungan antar dua bangsa yang sudah seperti saudara kandung ini. Sebelum membahas hal apa yang seharusnya dilakukan kedua negara, saya terlebih dahulu mengungkapkan bahwa sebenarnya telah terjadi citra negatif Indonesia di Malaysia maupun sebaliknya. Sehingga hal ini dapat menjadi rujukan untuk mengadakan pemulihan citra dan akhirnya kesaling-pahaman.

 

Citra negatif di negeri jiran

Citra negatif Indonesia di Malaysia setidaknya diwakili oleh tiga hal. Pertama, bayangan tsunami Aceh, gempa Yogya, kecelakaan Adam Air dan Garuda, masih melekat dalam ingatan masyarakat Malaysia. Media di Malaysia pun seolah mendukung pencitraan ini dengan selalu menampilkan setiap pemberitaan tentang Indonesia dari sisi negatif saja. Kedua, tanpa bermaksud merendahkan para ‘pahlawan devisa’ (TKI), pengiriman TKI untuk kerja lapangan membuat harga diri Indonesia di mata masyarakat negeri Pa’ Lah itu menjadi rendah. Sehingga orang Indonesia terasosiasi sebagai imigran haram (ilegal), pekerja kasar, bahkan TKW dikenal sebagai pekerja sambilan (seks komersial). Tidakkah memalukan? Kata ‘Indon’ yang kerap digunakan untuk menyebut orang Indonesia bahkan dirasakan sebagian masyarakat Indonesia di Malaysia menyakitkan hati karena terkesan merendahkan. Ketiga, derasnya laju masuknya sinetron, film, dan lagu-lagu dari Indonesia yang sarat dengan glamour, percintaan cengeng anak muda , pakaian sekolah remaja yang kebarat-baratan alias seksi, telah membentuk persepsi bahwa masyarakat Indonesia sudah jauh tercerabut dari akar budaya timur, khususnya melayu yang masih dipegang kuat oleh masyarakat Malaysia.

Namun sebenarnya , masyarakat Malaysia tidak bisa sepenuhnya disalahkan, perlu dipertanyakan apakah yang kerap menindas TKI dan memanfaatkan ‘jasa terlarang’ TKI dan juga media yang menyajikan berita negatif tentang Indonesia tersebut benar-benar saudara kita yang ‘truly serumpun’ atau bukan. Terlepas iya atau tidak, yang jelas hal ini perlu didialogkan secara intensif.

Sementara di Indonesia, Malaysia dipandang tidak adil karena telah merebut Sipadan dan Ligatan, ditambah lagi dengan kasus Ambalat. Demonstrasi bertuliskan “Ganyang Malaysia, Selamatkan Siti Nurhaliza” di Indonesia pun pernah dilakukan terkait kasus ini. Tulisan ini cukup membekas di benak sebagian masyarakat Malaysia. Selain itu, kasus-kasus penindasan terhadap TKI yang sangat sering diberitakan media di Indonesia menyimpan sedikit kesinisan masyarakat Indonesia terhadap Malaysia.

Intra-Civilization

Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa ada inisiatif kuat dari salah satu atau kedua negara untuk memulihkan lalu memperkuat hubungan. Sudah saatnya dialog antar negara dalam satu peradaban (intra-civilization) digalakkan. Ini dikarenakan ternyata antar satu sama lain masih memendam perbedaan, perpecahan, ketidaksepahaman, bahkan malah permusuhan.

Selama ini Indonesia sudah sangat prestatif mengambil inisiatif dalam usaha perdamaian dunia dalam menjembatani dialog antar peradaban barat dan peradaban Islam. Saya tidak bermaksud merendahkan arti dialog antar peradaban, namun kita jangan sampai lupa untuk turut mengambil inisiatif untuk membangun perdamaian antar ummah dalam satu peradaban. Agaknya hal ini masih jarang dilakukan padahal sejarah telah mencatat telah banyak terjadi clash antar sesama negara muslim.

Kompetisi global yang penuh dengan tekanan negara-negara besar dan serakah pun mengharuskan negara-negara muslim bersatu untuk keselamatan dan kesejahteraan ummah. Indonesia-Malaysia, dengan karakteristik Islam moderat dan bersahabat baik dengan semua peradaban, sudah semestinya menjadi ‘ibu yang ikhlas’ bagi ummah di seluruh dunia. Langkah ini harus dimulai dengan terlebih dahulu membangun hubungan yang kuat Indonesia-Malaysia. Ini tidaklah susah mengingat letak geografis dan akar budaya yang sangat, bahkan teramat dekat.

Kedua negara tentunya terlebih dahulu harus memabangun kesepahaman yang lebih intens terkait isu-isu yang merugikan atau menyakiti satu sama lain. Sampai pada akhirnya menuju proses penguatan pembangunan bersama di bidang ekonomi, politik, dan hukum. Seperti itulah sejatinya dua saudara kandung yang saling mencintai layaknya Muhajirin dan Anshar pada zaman Rasulullah saw. Saya yakin jika usaha ini benar-benar dilakukan, kesatuan dua negara ini untuk maju bersama akan menjadi kekuatan besar di dunia dalam menghadapi tekanan para pesaing-pesaing, kalau tidak mau disebut musuh. Sungguh logis jika kita lebih intensif membangun kerja sama yang luas dengan Malaysia ketimbang dengan Singapura dan Amerika yang terbukti licin dan pembohong. Sebaiknya kita dapat lebih arif mengamati mana sahabat yang potensial untuk diajak saling ikhlas dalam menuju kemajuan bersama dan mana yang tidak. Karena tentunya kita sepakat bahwa negeri kita adalah negeri yang beradab dan hanya mau menjadi besar dengan suci, jujur, dan ikhlas. Betul?

August 21, 2007 Posted by | My-opinion | 4 Comments

International WB Comp.’07 Participant

Likening Corruption as ‘Eating Pork’ through ‘From You for You’ Small Environment: Learning From My Past Projects

 

Do you ever find a place where you are wrong when you are on the true way and you are right when you are in the wrong way? In this place, some people could name you as a strange man when you always sustain in the truth. Before discussing more about this unique manner, in this first part of this paper, I narrate the general condition represented by some sad ‘stories’ in Indonesia then about my experience which triggers me to build two projects and establish new idea.

Here are some sad ‘stories’ in Indonesia: high cost for education, people have to get job abroad although just as servant with a low salary when the government can’t cover them, children live in a wild environment because of having no proper house to live, parent get a stress, kill themselves, and even kill their own children because of feeling frustrated imagining her children’s bad future, people in remote area are still in primitive life because of having no access for the development program, getting job as a civil servant (government officer) is not easy without much money. To be a police, soldier, civil servant, even work at popular national company, it must need ‘lubricant’ (red: much money). This story never ends, complicated, and the rest: money. If you want to be the member of the representative house, either in the province or the center, you must have ‘capital’ for that. It’s not enough that you have excellent brain, integrity, commitment, but the question will be how much fund you have is. By having enough funds, these moral values are only placed on the level something.[1]

My personal experience proves that those things above are true. From September until October 2005, I attended a program held by my university. It is called KKN (Kuliah Kerja Nyata), The Real Practical Work. The students are sent to a remote village and they must live there for 2 months without going home. Most of the villagers are tobacco farmers but they were in the low economic level. What made me couldn’t sleep comfort is when I remembered that there were many children without parents there. Definitely they had parent but not live together with them. Their parents (even their mothers) had to go abroad only to get a job as a house servant, blackleg, and other low level worker hence children who should get a warm touch and love from a mother had to live alone or just with their disabled grandmother/father. Nevertheless it is their fundamental right. Their mothers, as women, were also in a pity. As a house servant, they had no power when their boss hurt them and this case is already a common thing happened like often informed by media. They had no family in overseas to advocate them and government embassy couldn’t be a hope to help.

Besides parent’s love, they lose their right of education. No one could guide them how to behave well, how to know and implement the moral values such as discipline, respect elder, and help each other. They become wild children that know nothing how to love and use their deepest heart to love each other. Despite their parents were working abroad, it couldn’t guarantee the children had no financial problem. Thus it became a common view seeing them make a small crime like stealing.

Children in Progo and of course in the other part of Indonesia loss their rights in their young age. Their parents might say that they have no other choices but only go overseas although their job is only a servant. Where is the government in this case? Why does it just keep silent and can not cover this problem? I then discuss with some people until I mate with one of the members of representative house. He told me that definitely one of commissions in representative house already makes some programs to overcome poverty issue. One of them is PEM (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat), The Community Economic Improvement. This program gives a credit without any interest at all to all the fishers’ wife. The goal is to give an added income for the fisher family: while the husband is going to the sea for getting fishes, the wife can do a little business in the land. But this program can not run well because the credit money reach to the fishers’ wife hand is already deducted after cutting by each bureaucracy stages from top to down. It results in the number of money in their hand is very small, nothing and not proper as budgeted by the representative commission.[2] So, whatever the program born for the society, although it sounds and seems nice and perfect, the positive effects for the society results from those programs are nothing. It’s not happened only in one place, but in the most of region in Indonesia.

Corruption has changed anything. There will be no such a thing of development for the society until this country can be free from the hard disease: corruption. I promised myself that I have to know more about corruption, why it is so massive in Indonesia. I make along discussion with everyone and reading articles and books. From reading and discussing, I find that people (officers, leaders, entrepreneurs) work not to devote for their country, they work only for money. Most of them think that they have spent much money to get their career, so they always try to get their money back soon then they can get the benefit after that although with the wrong way. This condition is existed from the grass root until representative house, and even the center of the government. The corruption is just like a common thing. It is associated in their mind that there’s nothing wrong in doing corruption either for the small manner (using office telephone for personal business, ‘taking’ the office stationary home, paying added money to get identity card faster or to make police let us go after not complying traffic rules) or the bigger manner like a headmaster manipulate the school finance report after taking some money to his pocket. One will be noticed as a common enemy when he/she isn’t cooperative. That’s why one will be wrong when he fights corruption and one will be right when he corrupts together. I take some factors bring corruption according to Syed Hussein Alatas opinion on his book. They are the weakness of religious and ethical teachings, poverty, and absence of environment conducive to anti-corrupt behavior.[3]

What Syed Hussein Alatas wrote is the root cause of corruption in Indonesia. It’s not easy to solve, but I believe that I can. I may not just keep passive, until now I already have established 2 projects to fight corruption. In this paper, I explain a bit about them then I explain more about my new idea born after considering from the weakness in those 2 past projects (Anti-Corruption School for university student and The Rich for The Poor School for children). A few sharing information about them is as follow, I give more detail only for my new idea as the core of this paper.

 

 

 

Anti-Corruption School (ACS) for University Students

 

My friends and I find that university students as the new generation is getting closer to be the ruling elite. Let’s imagine! If they were in three sectors (public, private, and NGO (Non-Government Organization)) and all of them kept in their commitment to devote for the country, struggle to contribute massively, and clean the bad system, I am sure there will be a significant change in this country in terms of fighting corruption. The main goal of anti-corruption school is to create clean future leaders. ATS succeeded getting cooperation with KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Commission Against Corruption. It provided their staffs to be some speakers in lectures at this school. Other speakers were from national ruling elite and Gadjah Mada University (UGM) lecturers. We selected the speakers with certain qualification such as never has a law case especially in corruption and they must experience in fighting corruption.

ACS teaches all about corruption since one of causes why corruption is difficult to freeze is both government and society are lack of good understanding all about corruption that is rapidly happened in society and government.[4] ACS was success in making the students from different faculty welcome and join this program well. The number of the participants represented that there is still a big hope to make Indonesia free from corruption since definitely there are many intellectual youth care their country. They know that corruption should be a common enemy for better future of Indonesia.

Giving knowledge about corruption is not enough only given to youth, but it should be also to children. That’s why RPS exists to cover children from bad environment around them.

The Rich for The Poor School (RPS) for children

RPS vision is to create future leaders who have four strong characteristics. First
anti-corruption reflected by values of on-time accustomed to make a dream plan for one, five, ten, even twenty years later and schedule the daily activities though in working spiritually self-controlled in behaving and management fundamentals for both themselves and their peers. Second they become ‘good friends’ for environment around him. Third they love to help other people. Fourth being creative and innovative one in analyzing criticizing easily arguing and behaving.

RPS implements its vision through three key phrases of its methods. They are anti-corruption rules, outdoor class, and while playing. The Rich for the Poor means RPS gives all free for the poor and standardized high cost for the rich. The rich will be satisfied of the high quality and the poor gets their rights.[5]

 

Learning from ACS and RPS weakness

Those 2 projects (ACS and RPS) that I have established with my friends have weakness. ACS can not answer how to guarantee the graduate students would be totally say no to corruption in their daily practical work. This program is a flexible school, they can be just out from the anti-corruption school because this school is not including to the credit system in campus curriculum. Second, in this school, speakers gave the materials and the students just listened then gave the question along the discussion session to the speakers. Thus, it can’t answer how to guarantee the students could sustain to apply all the materials in their real life.

RPS has also any weaknesses. First, it can not answer the question how to guarantee that the children still applying all the materials, the rule, the simulation, in RPS after they are already out from RPS. The environment around man is the most influenced thing. The environment can be their friends, family, teachers, etc. These people are very possible to change all students’ characteristics formed by RPS. Or in the other word, I doubt this school can be a sustainable program to create better future leaders.

After finding the weaknesses in those two programs (ACS and RPS), I promised never stop to design the best solution to face corruption until this disease becomes totally zero in Indonesia. The struggle hasn’t ended yet. I have to keep fighting. Then I innovate the past projects, learn from their weakness, until I find a new great practical idea: Devotion and Spiritual Based Small Environment (DSSE). All about DSSE including goals, perspective, materials, and organization management are as follow.

 

Proposal Building DSSE (Devotion and Spiritual Based Small Environment)

DSSE perspective

The simplified perspective of this idea can be represented by these things below:

1. It is a small environment which consists of 4-5 participants including one tutor. They are grouped based on their interest, hobby, social level, and career. For example, the president is in one group with his vice and ministers. Teenagers whose hobby is watching football will be made in one group. House wife are grouped in one DSSE hence they could get friends living at house behind, in front of, right side, left side of their house in DSSE. Why are they grouped like that? The answer is to make it more efficient and their improvement can go as faster as possible.

2. Anywhere access. DSEE is a sustainable service whereby a participant could have a new group when she/he moves to the other either city or abroad. It is called group transfer. DSSE is created for a long participants’ lifetime. Along the lifetime, of course, one is very possible to move from one place to the other place for working, studying, etc. One could join a new group after getting permission and recommendation letter from the old tutor.

3. Spiritual and Devotion based. Many people think that professional, clean, and transparent are the key values that must be developed in the society to freeze corruption. I don’t agree with this statement totally. Those 3 values can not give the perfect answer for the question: how to control and guarantee the participants apply those things in their daily life anytime and anywhere. DSEE provides the learning subjects, simulation, and the method (the most important thing) to establish man’s spiritual based soul. It let them know: (1) for what they live and created, (2) the God always watch and control their acts, (3) that they have the finest responsibility to the God, (4) that they can reach the highest level when they love the God honestly. Finally, they promise themselves to do the best (devote) for the God, country, and the world.

4. FUFU (from you for you). DSSE human resources system is called networking ‘from you for you’. Each member of this environment has at least 2 groups. The first one is his right and the others are his obligation. It is done by self-awareness. DSSE consist of one tutor and 3-4 members. One must have 1 DSSE whereby he is just a member that has a right to get input (materials etc). Once his new behavior is closer to perfect according to the DSSE goals, he then should give his time to lead and organize other DSSE by being a tutor. One man can handle more than one other DSSE depend on his time and others. As a DSSE tutor he has to be able to create new tutor from his member to lead other DSSE, so the member of the members of DSSE are getting bigger and bigger. To make it easy to understand, the perspective of networking FUFU is represented by picture below.

But it is need to be reminded that the most important thing in DSSE is personal quality not quantity of persons hence the tutor has a great job and full utility to create new perfect leaders from his members. One can be a DSSE tutor after passing a certain qualification and test.

5. Frequent and applicable. In Indonesia, most of Muslim Society as the majority usually has a pengajian. It is a forum for Islamic study. It is held not frequent but incidentally. It’s nowadays already miss daily moral application. But it’s already associated in their mind that a Muslim must have it. The problem of Muslim in Indonesia today is although they believe in God, they are lack of spiritual life that can make them live in happily. It means there is something wrong with the pengajian. What DSSE can serve them based on that problem is DSSE is still introduced as pengajian but it’s more different. It’s enjoyable and serves them the true way of getting spiritual amenity. When they enjoy and feel that they get something different and they truly need it, making DSSE held frequently even every week will be no problem. But then, a question, why DSSE is designed and held frequently? It’s because: to improve and control their behavior will not be success if it’s not along the time and sustainable.

The goals

DSSE is a new and innovative product after analyzing the weakness found in my past projects which are The Rich for The Poor School (RPS) for children and anti-corruption school for university students. The goals of DSSE are:

1. To create a sustainable improvement of the Indonesian society mentality and behavior by freezing their old bad acts in corrupting since they associate that corruption is a common thing, not a mistake even a sin, and in additional they might think that corruption is a must and an allowed way to get added money to survive.

2. To build a comfort, enjoyable, and full of brotherhood environment where one advise each other in the truth about either personal or community problem which is faced every day.

3. To make ‘budi pekerti’, a highest Indonesian cultural value, come back again to its proper place as a means of society morality improvement.

4. To create big number of new future leaders who commit to devote and contribute for the country massively. It’s done by ‘from you for you (FUFU)’ method in DSSE. All about FUFU will be in the next part.

DSSE content to associate ‘budi pekerti’ as a soul and never ending behaviour

1. The materials:

a. Spiritual self concept. It let the members know their goal of life, why they are created in the world, what and how the day after, and how to have a meaningful and happy life. They also need to know themselves as triple I (I as myself, I as social man, I for the God)

b. Associate corruption as a big sin. Muslim (there are 84% Muslims in Indonesia) will never want to eat pork because they know that it is a big sin and also very disgusting. If they can liken doing corruption as eating pork, they will not do corruption again. “Corruption kill thousands people and is the most disgusting thing than others to do”. Finally they should believe and implement this statement strongly in their deepest soul.

c. After succeeding in creating those 2 things above in the members’ deepest soul, then they should enlarge their knowledge all about practical corruption happened in their daily life. It’s necessary since people sometime struggle to against corruption while they know nothing about corruption itself.

d. Budi pekerti as the main values that they must reach step by step. It’s obtained from Indonesian National Encyclopedy that the meaning of budi is man highest awareness. Budi enclose man to the holy values, the truth, source of which is the God direction. With budi, man could stay away from bad distortion which flows to the deep heart. Budi becomes light power when dark power comes inside. It is always ready to catch signal of direction coming from the God. But budi becomes meaningful only when it already become driver or man acts direction: be budi-pekerti.[6]

2. The tools and methods

a. Sudden heart washing. At the first meeting, all the members attend an ESQ (Emotional Spiritual Quotient) training to ‘wash’ wholly their soul and heart. This training is already existed. It is owned and born by Ary Ginanjar. This training can change bad man to good man, dirty man to clean man. It presents spiritual self concept with an excellent method hence it can give sudden heart washing and significant change only for a while of certain time (it’s usually for 1 month).

b. Simulation. These several simulations below designed as one of variation mode in DSSE:

i. Washing the poor people’s shoes. One who is always placed on the top social level and never experience being the poor is difficult to be able to sympathize and care them. By this simulation, one would know how the poor life is and aware that they could kill the poor by corrupting.

ii. Living in the remote place together with the poor. The objective is as sudden heart washing.

iii. Pretend to die. The members pretend to be dead people and progress all the processes just like when he is already dead in the fact. It let them know that dead-day is a must hence no delay to contribute for himself, civil society, the country and the God.

c. Sharing your heart!

In DSSE, there is no secret between one another. In the last session one share his/her personal and private problem about anything then others give the solution even until they help to solve it practically. The real environment is ‘wild’ (whereby corruption is done everywhere). Thus, facing it alone is not easy. One must need others at least to share. The tutor’s function is very significant. In addition, this session is one thing to make DSSE is more enjoyable and needed by everyone that usually feel loneliness facing wild environment.

The Organization Management

One thing that must be stressed in DSSE is to keep clean and credible all the tutors as the main prime-mover of its success. That’s why the organization management must be well designed. DSSE would be under KPK since it has a credibility until now in recruiting their staffs and commit in fighting corruption.

KPK is a new independent commission in Indonesia. It has created some achievements in fighting corruptions through law sector. Definitely it supports all the ways done by any association in fighting corruption. Until now, it hasn’t had a special affair in terms of facing corruption through education but only joint program with some association. Having DSSE under KPK completes its goal to make Indonesia clean from the corruption totally.

KPK then recruits qualified DSSE tutors to lead the first DSSE generations which are grouped of 4-5 persons. The tutors must be clean, educated, committed, and integrated person. At the starting point, ruling elite (president and his vice, the member of representatives, lawyer, ministry), activist from university and high school students should be prioritized. They would be pioneers (agent of change). It is for central DSSE. DSSE would also exist at some provinces where KPK exist there. In the province level, governor and vice, head of local departments for any affairs, the member of local representative house are prioritized.

The DSSE fund is born from KPK budget and other help fund from local, national, and international independent organizations which concern in fighting corruption in Indonesia.

Conclusion

Today there is a frailty that corruption done in collaboration and so open without any shy at all.[7] People said that corruption already become an Indonesian culture. They don’t aware what they do have made much crying for whole country especially the poor. The poor might don’t want to wake up from sleep because they do not know what they have for eat, which school their daughter and son can enter without money. Freezing it through low and economic improvement is nothing because money budgeted will be loss and it is just for a temporary shock. That’s why it proposes a sustainable, small environment to improve the morality and try to associate corruption as eating pork since eating pork is deeply memorized in most of Indonesian society’s mind as disgusting thing to do. The cumulative of great, committed, clean, and strong people created by DSSE will be the cumulative of success for better Indonesia that is free from corruption until all the public services and all programs will be truly felt by the grass root.

References

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Budaya Kumuh, Gatra No.5, Jakarta, 14 December 2006.

Ahmad Tohari, Agama itu Budi Pekerti?, Repubilka, Jakarta, 19 February 2007.

Alatas, Syed Hussein, Corruption and the Destiny of Asia, Prentice Hall Malaysia and

Simon & Schuster, Selangor Darul Ehsan, 1998.

Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) Republik Indonesia, Jakarta.

Dedy Purwanto, Anti-Corruption and Environment-Love Based School While Playing for

Children -The Rich for The Poor School (RPS)-, submitted to World Bank

International Essay Competition 2006.

Sujono, in a dialogue between Indonesian society in Malaysia and the member of central

representative house, Indonesian Embassy at Kuala Lumpur, 25 February 2007.

Yoyoh Yusroh speech, recorded by www.youtube.com,

 

 

 

 


[1] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Budaya Kumuh, Gatra No.5, Jakarta, 14 December 2006.

[2] Sujono, in a dialogue between Indonesian society in Malaysia and the member of central representative house, Indonesian Embassy at Kuala Lumpur, 25 February 2007.

[3] Alatas, Syed Hussein, Corruption and the Destiny of Asia, Prentice Hall Malaysia and Simon & Schuster, Selangor Darul Ehsan, 1998

[4] Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Jakarta.

[5] Dedy Purwanto, Anti-Corruption and Environment-Love Based School While Playing for Children

-The Rich for The Poor School (RPS)-, submitting to World Bank International Essay Competition 2006.

[6] Ahmad Tohari, Agama itu Budi Pekerti?, Repubilka, Jakarta, 19 February 2007.

[7] Yoyoh Yusroh speech in front of representative house of Republic of Indonesia forum, recorded by www.youtube.com,

August 21, 2007 Posted by | My-opinion | 2 Comments

Gan_X without me :(

Gan_X without me :(

August 19, 2007 Posted by | My-photo | Leave a comment

Renungan di Hari Pendidikan

Renungan di Hari Pendidikan

 

Oleh: Dedy Purwanto

Pendiri ALIEV English School, sedang S2 di Universiti Teknologi PETRONAS Malaysia

2 Mei kembali datang. Momen ini sungguh tepat bagi Indonesia untuk kembali merenung dan bermuhasabah diri bagaimana sebenarnya sektor pendidikan telah berperan dalam jalan menuju kebangkitan dan bagaimana pula langkah yang harus dilakukan untuk perbaikan ke depan.

Mungkin kita sudah bosan menyampaikan bahwa sektor inilah sebenarnya yang menjadi kunci utama penggerak kemajuan. Namun perhatian yang besar terhadapnya seperti yang dijanjikan pemimpin–pemimpin bangsa ini dalam setiap kampanye pemilu, pilpres, atau pilkada belum juga dapat direalisasikan. Padahal pendidikanlah yang melahirkan insan-insan Indonesia baik pengusaha dan penguasa, bumiputra dan tionghoa, pemimpin dan rakyat, maupun keluarga cikeas dan cendana. Mereka inilah gambaran umum siapa-siapa saja yang mempunyai pengaruh besar sekaligus penentu arah perubahan bangsa. Generasi kemarin, sekarang, dan mendatang juga tentu dilahirkan dari sektor ini. Maka sudah sepantasnya kita kembali merumuskan sudah berhasilkah pendidikan kita membentuk manusia-manusia tangguh untuk bangsa ini? Nampaknya untuk pertanyaan ini, kebanyakan dari kita sepakat menjawab belum. Lalu marilah kita merenung dan mengevaluasi secara jujur seperti apa sebenarnya manusia Indonesia yang telah ‘diproduksi’ oleh sektor pendidikan selama ini.

            Mohd Azmi Abdul Hamid, Presiden Teras Pengupayaan Melayu (TERAS) Malaysia, dalam kuliah umum (25/04/07) mengenai Free Trade Agreement (FTA) di Univesiti Teknologi PETRONAS (UTP) Malaysia, menyampaikan bahwa manusia di dunia saat ini sudah terpengaruh oleh materialisme, individulisme, dan komersialisme. Menurut pendapat saya, tiga hal ini pun dengan tepat menggambarkan sifat manusia Indonesia. Pertama adalah materialistis. Kesuksesan dan kebahagiaan hidup diukur dengan berapa jumlah mobil yang terparkir di halaman rumah, seberapa besar rumah yang didiami, asesoris dan perhiasan apa yang melekat di anggota badan, atau seberapa canggih telepon genggam yang dipegang. Secara tidak sadar, telah terjadi perbedaan status sosial berdasarkan banyak sedikitnya harta. Maka setiap orang pun berlomba-lomba mendapatkan harta sebanyak mungkin.

            Kedua adalah individualis. Saya menamakannya dengan sifat ke’aku’an: yang penting aku selamat, aku sukses, aku menang, aku bahagia, aku mapan, aku juara, dan aku kaya. Manusia individualis merasa dirinya harus diutamakan terlebih dahulu dalam mencapai segalanya walaupun terkadang harus mengorbankan orang lain, masyarakat, bahkan rakyat, bangsa, terlebih agama. Kemiskinan, penindasan, huru-hara yang terjadi di sekitarnya tidak menjadi masalah baginya asalkan ia selamat. Akibatnya kepedulian sosial terhadap sesama semakin merosot.

            Ketiga adalah komersialis. Semua hal dinilai dengan uang. Salah satu ilustrasinya adalah saat lulusan SMU memilih kuliah di bidang teknik bukanlah dengan tujuan untuk berkontribusi pada masyarakat dalam bidang teknologi melainkan karena bidang teknik dinilai memiliki prospek masa depan yang cerah dan menjanjikan dalam bursa kerja. Memilih fakultas kedokteran pun bertujuan untuk mencapai status sosial yang tinggi dan kemewahan , bukan untuk mengabdikan diri dengan membantu orang-orang yang sakit supaya dapat tertolong dengan baik. Begitu juga dengan pilihan menjadi PNS, polisi, TNI, arsitek, bahkan guru, semata dilakukan hanya untuk meraih apa yang disebut comfortable zone.

            Lebih buruknya lagi, ketiga sifat ini ternyata juga melekat di kalangan pemimpin bangsa ini. Keteladan pun sirna. Maka wajarlah jikalau negara ini belum juga bangkit karena sang pemimpin tidak ikhlas sepenuhnya untuk mengabdikan diri bagi rakyatnya. Indonesia pun menjadi negara salah asuhan karena mereka lebih mendahulukan kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Kesan penakut, setengah-setengah pun masih melekat pada presiden. Walaupun baru-baru ini beliau membantah dirinya penakut, namun kenyataan telah berkata tidak seperti mulut manisnya yang bicara. Pesta pernikahan putranya yang megah nan mewah ditambah lagi dengan memanfaatkan fasilitas negara (istana bogor) cukuplah menjadi rekaman kuat kita bersama untuk me‘rapot-merah’kannya dalam sejarah kepemimpinan bangsa. Itulah yang terjadi jika harta, uang, dan kekuasaan menjadi tujuan bukan sarana pengabdian Apakah beliau tidak belajar dari Umar Ibnu Khattab yang rumahnya untuk dikatakan sederhana saja tidak layak?.

            Sebelum dilanjutkan, sebagai rakyat, saya memohon maaf jika bahasa tulisan ini terlalu fulgar walalupun saya sudah berusaha untuk meminimalisasi kefulgaran itu. Namun inilah salah satu wujud pengabdian saya dengan prinsip saling mengingatkan sehingga dapat menjadi bahan renungan. Pemimpin bangsa yang dewasa dan open mind tentu akan menyikapi setiap kritikan seperti ini dengan bijaksana.

            Sebenarnya tidak hanya presiden, kebanyakan –alhamdulillah masih ada yang berdedikasi- elit (wapres, menteri, ketua MA, gubernur, dan walikota) masih terjebak dalam lingkaran setan: materialis, individualis, dan komersialis. Masalah kepemimpinan inilah sebenarnya yang menjadi akar permasalahan bangsa. Ketika pemimpin sudah kehilangan hati nurani dan sifat devotis, usaha apapun untuk perbaikan bangsa ini akan sulit berhasil.

Devotis

            Devotis sendiri berasal dari kata dalam bahasa Inggris: devote, mengabdi. Manusia devotis selalu berpikiran bagaimana hidupnya diabdikan untuk Tuhannya. Turunan dari pengabdian pada Tuhan ini akan menjadi dorongan yang besar untuk tidak pernah menyia-nyiakan segala potensi yang dimilkinya baik harta, ilmu, waktu, dan kekuasaan dalam rangka menjemput kematian yang indah. Sehingga niat-niat untuk menumpuk harta, mempertahankan kekuasaan berusaha dibuang sejauh-jauhnya dari hati. Kepentingan, tekanan, dan intervensi negatif dari luar juga akan disikapi dengan tegas oleh pemimpin devotis. Ini mungkin terkesan idealis dan aneh bagi insan Indonesia era sekarang yang sudah sangat dipengaruhi materialisme, indivdulaisme, dan komersialisme.

Devotis dalam Islam

            Terkait devotis dan kempimpinan, Islam sudah sejak lama mengajarkan pada umatnya tentang misi penciptaan manusia. Pertama adalah untuk menjadi pemimpin di muka bumi (Q.S Al Baqarah:30). Tuhan memberikan akal dan ilmu pengetahuan kepada manusia untuk selanjutnya digunakan sebesar-besarnya untuk kebutuhan dan kesejahteraan umat manusia di muka bumi. Kedua adalah untuk mengabdi kepada Allah (Q.S Az-zariyat:56). Manusia sadar sepenuhnya bahwa dirinya tidak memiliki daya dan upaya tanpa pertolongan Allah sehingga ia akan secara penuh menghambakan diri padaNya.

Kedua hakikat penciptaan inilah sebenarnya yang harus ditanamkan kepada insan Indonesia melalui sekolah-sekolah. Perubahan mendasar perlu dilakukan pada kurikulum, tujuan dan model pengajaran sehingga semua insan mengerti untuk apa dia menuntut ilmu dan hidup di dunia. Sekolah bukan hanya untuk mengejar nilai Ujian Nasional (UN) yang bagus, sekolah dan universitas favorit, atau juga pekerjaan dan kehidupan yang mapan. Namun mereka harus diajarkan bahwa tujuan dari semuanya adalah untuk pengabdian kepada Tuhan lalu diturunkan menjadi pengabdian mulia terhadap bangsanya. Sekali lagi, bangsa yang sedang sakit dan butuh kerja keras ini membutuhkan mereka, manusia devotis!    

    

August 19, 2007 Posted by | My-opinion, Uncategorized | 1 Comment

DEDY dan Muhammad Kecil dari Damansara M’sia

DEDY dan Muhammad Kecil dari Damansara M’sia

August 19, 2007 Posted by | My-photo | Leave a comment

Hilangnya Dua Ilmu di Era Kemerdekaan

Hilangnya Dua Ilmu di Era Kemerdekaan

Oleh:

Dedy Purwanto

Aktivis PPI se-Malaysia, Mahasiswa S2 Universiti Teknologi PETRONAS Malaysia

Bulan Agustus datang kembali. Mungkin banyak yang belum mengetahui bahwa ternyata bulan ini tidak hanya spesial bagi rakyat Indonesia, tapi juga bagi negeri jiran, Malaysia. Indonesia memperingati hari kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus, sedangkan Malaysia pada tanggal 31 Agustus. Sungguh suatu kebetulan yang menarik: dua negara yang bersahabat dan sangat dekat baik secara geografis maupun budaya masyarakatnya ternyata merdeka dalam bulan yang sama. Dalam segi usia, Indonesia memang lebih senior dibandingkan Malaysia. Tahun ini merupakan ulang tahun emas (50 tahun) mereka dan ulang tahun kita yang ke-62.

Namun Anda pasti sudah bisa menerka, kalimat selanjutnya dari tulisan saya ini. Ya! Mengapa kita yang lebih berpengalaman (senior) ini malah jauh tertinggal dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan bidang lainnnya. Data UNDP 2003 menunjukkan, dalam World Economic Forum (103 negara), Indonesia berada pada peringkat 72 sementara Malaysia pada peringkat 29. Sungguh menggelisahkan, rakyat yang serupa (perawakan fisik, bahasa, dan budaya), namun bernasib berbeda. Padahal kemerdekaan yang berhasil kita raih jauh lebih terhormat dan heroik. Berapa banyak tulang-tulang yang berserakan (meminjam puisi Chairil Anwar) dan darah-darah segar mujahid-mujahidah yang mengalir di tangan agresor untuk mempertahankan tanah air sehingga akhirnya proklamasi kemerdekaan pun berkumandang. Berbeda dengan negara Mahathir yang merdeka hanya dengan melalui jalur diplomasi dan perjanjian.

Sudah saatnya kita berpikir objektif di usia negara kita yang sudah uzur ini. Apa sebenarnya penyebabnya hingga rakyat pun menderita berkepanjangan hingga sekarang. Tun DR Mahathir Muhammad dalam ceramah hari kemerdekaan Malaysia (13/08/07) di Universiti Teknologi PETRONAS, Malaysia, menyampaikan bahwa korupsi telah menjadi budaya dan hal yang biasa di ‘negara-negara tertentu’.  Walaupun dengan menggunakan kata jamak, peserta yang hadir pada acara tersebut termasuk saya dapat langsung menginterpretasikan bahwa yang dimaksud adalah negara kita, Indonesia. Beliau mengingatkan bahwa negara tidak akan maju jika dipimpin oleh para koruptor. Perbaikan moral merupakan solusi yang beliau sajikan untuk menghadapi isu korupsi.Ada benarnya memang solusi yang  yang beliau sampaikan. Namun seperti apa detilnya nampaknya menjadi bias dan setiap orang akan mempunyai tafsir yang berdeda-beda. Untuk bangkit menjadi negara maju, saya mengambil referensi dari ajaran Islam. Di dalam Islam, ada dua kategori ilmu yang bersumber dari Tuhan dan harus dikuasai oleh manusia agar selamat dan bahagia dunia-akhirat. Ilmu ini juga yang akan menjelaskan bagaimana negara-negara barat dapat maju dari segi tertentu dan terbelakang dari segi yang lain dan juga bagaimana Malaysia dapat lebih maju dari Indonesia.Pertama adalah ilmu kauliyah, adalah ilmu tertulis yang langsung bersumber dari Tuhan yaitu Al-Quran dan Hadist Nabi. Malaysia yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam masih memegang kuat ilmu ini dan rata-rata masyarkatnya pun lebih mematuhi perintahNya dibandingkan dengan masyarkat Indonesia. Di sekolah-sekolah serta instansi publik dan pemerintah, bisa dilihat bagaimana caranmereka berpakaian. Mereka masih sangat mencintai budaya melayu yang sangat dekat dengan budaya Islam. Sehingga kesantunan dan moral pun lebih berwarna di tanah para sultan ini. Sehingga nampaknya rahmat Allah pun lebih melimpah di Malaysia seiiring dengan tetap dipegangnya kecintaan negara dan masyarkatnya terhadap Islam. Sementara di tanah air kita, simbol-simbol Jawa ala Majapahit lebih disukai menjadi keunikan yang tidak terlalu berarti. Lihat saja, saat pertama kali seorang asing menginjakkan kaki di bandara ibukota Jakarta, patung khas Majapahit akan menyambut tamu yang datang ke pusat negara. Sehingga seakan-akan kebudayaan lain bukan bagian dari Indonesia. Saya tidak bermaksud tidak mengizinkan Majapahitisme, tapi mengingatkan bahwa aneka kekayaan budaya lain jangan dibiarkan mati. Kedua, kauniyah. Yakni ilmu yang bersumber dari Allah dan ‘tertulis’ di alam semesta:  tubuh manusia, laut, daratan, hingga luar angkasa. Umat  muslim seharusnya juga menyadari bahwa ilmu ini juga menjadi kewajiban untuk dipelajari dan diamalkan. Maka wajarlah negara barat lebih maju dalam teknologi dan ekonomi di mana ilmu ini benar-benar maereka kuasai. Nilai-nilai positif seperti disiplin, good governance  yang bersumber dari akal ciptaan Tuhan pun mereka kuasai. Namun masyarkat barat mundur dalam hal sosial dan spiritual (didapat dari sumber kauliyah). Sehingga mereka tidak mempunyai pegangan dan tujan hidup yang jelas, akhirnya kehampaan hidup pun mendera. Angka bunuh diri, minuman, keras, seks bebas pun menjadi citra buruk mereka di mata dunia.Sungguh indah sebenarnya Islam yang mencakup keseluruhan dalam segenap segi kehidupan. Sehingga mereka yang mengamalkannya dengan benar mempunyai pedoman yang sempurna. Sementara kita di Indonesia telah meninggalkan kedua ilmu tersebut. Di negara kita bisa dilihat jika ada pemimpin yang mencoba memperbaiki moral masyarakat dengan kebijakan pelarangan pelacuran, minuman keras, hiburan malam bermasalah yang dekat dengan narkoba dan AIDS, maka penentangan terhadap kebijakan tersebut akan muncul. Dengan dibantu oleh media, kalangan ekstrimis liberal yang sangat tidak demokratis karena terlalu taklid buta dengan islamophobia nampaknya memang telah berperan besar dalam penghancuran tatanan masyarakat yang ingin kembali pada nilai-nilai moral yang universal. Sehingga RUU APP (Anti Pornografi-Pornoaksi) yang dapat melindungi anak-anak penerus bangsa dari buaian lamunan keindahan seksual yang terlalu dini pun masih terkatung-katung nasibnya di tangan-tangan wakil rakyat di parlemen. Nampaknya umat muslim Indonesia benar-benar telah mengalami tirani mayoritas sehingga tidak dapat mengamalkan ajaran agamanya dengan tenang dan sempurna.Ilmu kauliyah tidak di tangan, ilmu kauniyah pun melayang. Dalam hal Human Developemnt Index (HDI)) misalnya, data UNDP 2003 juga menunjukkan Indonesia berada pada peringakt 110 dari 175 negara. Lalu, melihat kondisi seperti ini, dapatkah kita mengambil pelajaran di hari kemerdekaan ini? Mahathir Muhammad masih dalam kesempatan yang sama, dalam menjawab sebuah permintaan peserta untuk memberikan pesan terhadap Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan tidak hanya satu, tapi ratusan pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Tentunya pemimpin ini adalah pemimpin devotis (mengabdi) yang mengerti makna penciptaan dirinya untuk menjadi khalifah dan mengabdi pada Allah SWT dengan secara komprehensif menjaga keseimbangan pengamalan imu kauliyah dan kauniyah. Sehingga Allah pun cinta kita dan kita menjadi maju karena mengambil sudut maju positif barat dan timur bukan sebaliknya malah mengambil sudut terbelakang barat belaka.  

August 19, 2007 Posted by | Uncategorized | 1 Comment